Wolipop Lifestyle Bullying di dunia kerja bisa saja dialami beberapa karyawan, terutama yang baru masuk kerja. Meskipun mungkin tidak secara terang-terangan seperti yang biasa terjadi di SMA atau kuliah, perlakuan yang semena-mena atau sikap mengucilkan dari senior kepada juniornya terkadang membuat karyawan baru merasa ‘tersiksa batin’ dan tidak betah.

Ketika ‘anak baru’ mendapat bullying, baik itu secara eksplisit maupun implisit, apa yang sebaiknya dilakukan? Langsung berhenti kerja atau memilih bertahan? Pembicara dan motivator kepemimpinan Ainy Fauziyah tidak menyarankan karyawan yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari koleganya untuk keluar dari tempat kerja.

“Buat saya sayang banget. Banyak pengalaman hidup yang kita tidak dapatkan di kampus tapi didapat di dunia kerja. Dan tantangan menjadi anak baru adalah mendapat atasan yang tidak suportif,” ujar lulusan S2 di Canberra University, Australia, jurusan Urban Management ini ketika berbincang dengan Wolipop di kantornya, PT. Aifa Globalindo, Grand Wisata, Bekasi.

Baca juga : Investor Daily – Jangan Takut pada Pilihan

Sementara menurut pakar sumber daya alam Handi Kurniawan, perlakuan bully justru lebih sering terjadi di tingkat senior ke atas ketimbang pada karyawan baru. Pria yang bekerja sebagai Head HR Strategic Management di Sinarmas Agribusiness & Food ini mengatakan bahwa bullying bisa terjadi di mana saja dan kapan saja tanpa pandang bulu.

“Saya rasa perusahaan di Indonesia nggak banyak bully-bullyan. Tapi memang ada beberapa perusahaan yang sangat kompetitif,” tuturnya saat ditemui di Sinar Mas Land Plaza, Jl. MH. Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (19/8/2014).

Bagaimana cara yang tepat untuk menghadapi saat jadi ‘korban’ perilaku bullying dari rekan kantor atau atasan? Ainy dan Handi pun memberikan beberapa tipsnya.

1. Berpikir Positif
Menurut Ainy, bullying bisa dilakukan dengan cara yang bermacam-macam. Apakah diperlakukan semena-mena, diberi banyak pekerjaan, jadi bahan pembicaraan atau mendapatkan kata-kata yang menyakitkan. Untuk kasus yang kedua, maka wanita berusia 45 tahun ini menyarankan untuk mengambil sisi positifnya terlebih dahulu.

“Saya punya prinsip ketika saya punya kerjaan banyak, saya mendapat ilmu banyak. Saya justru tidak suka kalau di kantor bengong tidak ada kerjaan. Harusnya kita anak baru punya perasaan bersalah kalau tidak punya pekerjaan. Justru kalau dikasih kerjaan banyak malah bagus karena itu kepercayaan buat kita. Kalau kerjaan kita banyak ya bersyukurlah itu artinya kita sangat terpakai. Dan berhentilah merasa di-bully karena menurut saya, berila yang terbaik karena nanti pasti nama kita harus ketika kita meninggalkan kantor,” urai Ainy.

Baca juga : Gaya Hidup & Karir – Ada Tiga Manfaat Susun Resolusi 2014

2. Mengadu ke Atasan Langsung
Apabila bully-ing dilakukan oleh rekan kerja, maka yang dapat Anda lakukan adalah mengadu ke atasan langsung. Dari situ, atasan bisa menentukan langkah yang bisa diambil selanjutnya. “Ngadu ke bosnya, menurut saya itu paling utama,” tukas Handi.

3. Mengadu ke HRD
Jika atasan tidak bisa membantu, Anda bisa memberitahukannya ke bagian HRD. Pihak HRD biasanya bersedia mengurusi permasalahan karyawan dan ketenagakerjaan, selama konteksnya masih di lingkungan kerja dan berhubungan dengan pekerjaan, bukan masalah pribadi.

4. Masukkan Pengaduan ke Drop Box
Beberapa perusahaan ada yang menyediakan kotak pengaduan bagi para karyawannya. Jika kantor Anda memiliki fasilitas ini, tidak ada salahnya mencoba mengungkapkan hal-hal yang kurang mengenakkan dari kantor ke drop box, untuk diketahui atau mungkin ditindak lebih lanjut.

19. Gaya Hidup & Karir – Ini 6 Langkah Tumbuhkan Profesionalitas Kerja

5. Jangan Mengadu ke Sesama Rekan Kerja
Handi sangat tidak menyarankan untuk mengadu ke sesama rekan kerja karena menurutnya tidak akan menyelesaikan masalah. Jika ingin membicarakan bullying yang Anda alami, maka pilihlah orang yang tepat dan berkompeten dalam menyelesaikan permasalahan karyawan. Teman yang seperti ini dikenal dengan istilah informal leader.

“Biasanya di perusahaan-perusahaan ada informal leader. Dia nggak harus officially direktur atau manajer tapi di orang yang (pendapatnya) didengar sama yang lain. Mungkin sudah lama banget kerja di situ. Nah, dia bisa saja dimintai pendapat. Tapi kalau salah curhat juga bisa tambah keruh,” terang lulusan MBA di University of Western Australia ini.

Rahmi Anjani & Intan Kemala Sari

Please follow and like us:
Follow by Email
Twitter
Visit Us
YouTube
Instagram